Diterjemahkan
oleh Abu Hudzaifah Al Atsary dari kitab: ‘Aasyiqun fi Ghurfatil ‘amaliyyaat,
oleh Syaikh Muh. Al Arify.
Suatu
ketika, aku jalan-jalan di padang pasir dan tersesat sehingga tidak tahu
pulang. Di sana kutemui sebuah khemah lusuh… kuperhatikan khemah tersebut, dan
ternyata di dalamnya ada seorang tua yg duduk di atas tanah dengan sangat
tenang… Ternyata orang ini kedua tangannya kudung… matanya buta… dan sebatang
kara tanpa sanak saudara. Kulihat bibirnya kumat-kamit mengucapkan beberapa
kalimat..
Aku
mendekat untuk mendengar ucapannya, dan ternyata ia mengulang-ulang kalimat
berikut: Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…
Segala puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia…
Aku
hairan mendengar ucapannya, lalu kuperhatikan keadaannya lebih jauh… ternyata
sebahagian besar panca inderanya tidak berfungsi… kedua tangannya kudung…
matanya buta… dan ia tidak memiliki apa-apa bagi dirinya… Kuperhatikan
keadaannya sambil mencari adakah ia memiliki anak yang menguruskannya? atau
isteri yang menemaninya? ternyata tak ada seorang pun… Aku bergerak
mendekatinya, dan dia merasakan kehadiranku… dia lalu bertanya: “Siapa? siapa?”
“Assalaamu’alaikum…
aku seorang yg tersesat dan menemui khemah ini” jawabku,
“Mengapa
kau tinggal seorang diri di tempat ini? Di mana isterimu, anakmu, dan
kerabatmu? soalku.
“Aku
seorang yang sakit… semua orang meninggalkanku, dan kebanyakan keluargaku telah
meninggal…” jawabnya.
“Namun
kudengar kau mengulang-ulang perkataan: “Segala puji bagi Allah yang
melebihkanku di atas banyak manusia…!! Demi Allah, apa kelebihan yang
diberikan-Nya kepadamu, sedangkan engkau buta, faqir, kudung kedua tangannya,
dan sebatang kara…?” ucapku.
“Aku
akan menceritakannya kepadamu… tapi aku punya satu permintaan kepadamu, mahukah
kamu mengabulkannya?” tanyanya.
“Jawab
dulu pertanyaanku, baru aku akan mengabulkan permintaanmu” kataku.
“Engkau
telah melihat sendiri betapa banyak cubaan Allah atasku, akan tetapi segala
puji bagi Allah yang melebihkanku di atas banyak manusia… bukankah Allah
memberiku akal yang sihat, yang dengannya aku boleh memahami dan berfikir…?
“Betul”
jawabku. lalu katanya: “Berapa banyak orang yang gila?”
“Banyak
juga” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak
manusia” jawabnya.
“Bukankah
Allah memberiku pendengaran, yang dengannya aku boleh mendengar azan, memahami
ucapan, dan mengetahui apa yang terjadi di sekelilingku?” tanyanya.
“Iya
benar”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak
manusia” jawabnya.
“Betapa
banyak orang yang tuli dan tidak mendengar…?” katanya.
“Banyak
juga…” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak
manusia”, katanya.
“Bukankah
Allah memberiku mulut yang dengannya aku mampu berdzikir dan menjelaskan
keinginanku?” tanyanya.
“Iya
benar” jawabku. “Lantas berapa banyak orang yang bisu tidak mampu berbicara?”
tanyanya.
“Wah,
banyak sekali” jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas
banyak manusia” jawabnya.
“Bukankah
Allah telah menjadikanku seorang muslim yang menyembah-Nya… mengharap pahala
dari-Nya… dan bersabar atas musibahku?” tanyanya.
“Iya
benar” jawabku. lalu katanya: “Padahal berapa banyak orang yang menyembah
berhala, salib, dan sebagainya dan mereka juga sakit? Mereka merugi di dunia
dan akhirat…!!”
“Banyak
sekali”, jawabku. “Maka segala puji bagi Allah yg melebihkanku di atas banyak
manusia” katanya.
Pak
tua terus menyebut kenikmatan Allah atas dirinya satu-persatu… dan aku semakin
takjub dengan kekuatan imannya. Ia begitu mantap keyakinannya dan begitu rela
terhadap pemberian Allah…
Betapa
banyak pesakit selain beliau, yang musibahnya tidak sampai seperempat dari
musibah beliau… tapi bila dibandingkan dengan orang ini, maka mereka tergolong
‘sihat’. Pun demikian, mereka meronta-ronta, mengeluh, dan menangis
mahu-mahunya… mereka amat tidak sabar dan tipis keimanannya terhadap balasan
Allah atas musibah yang menimpa mereka, padahal pahala tersebut demikian besar…
Aku
pun menyelami fikiranku makin jauh… hingga akhirnya khayalanku terputus saat
pak tua mengatakan: “Hmmm, bolehkah kusebutkan permintaanku sekarang… mahukah
kamu mengabulkannya?”
“Iya..
apa permintaanmu?” kataku.
Maka
ia menundukkan kepalanya sejenak seraya menahan tangis.. ia berkata: “Tidak ada
lagi yang tersisa dari keluargaku melainkan seorang anak berumur 14 tahun… dia
lah yg memberiku makan dan minum, serta mewudhukan aku dan menguruskan segala
keperluanku… sejak malam tadi dia keluar mencari makanan untukku dan belum
kembali hingga kini. Aku tak tahu apakah dia masih hidup dan diharapkan
kepulangannya, ataukah telah tiada dan kulupakan saja… dan kamu tahu sendiri
keadaanku yang tua renta dan buta, yang tidak mampu mencarinya…”
Maka
kutanya ciri-ciri anak tersebut dan ia menyebutkannya, maka aku berjanji akan
mencarikan anak tersebut untuknya…
Aku
pun meninggalkannya dan tidak tahu bagaimana mencari anak tersebut… aku tidak
tahu harus memulai dari arah mana…Namun tatkala aku berjalan dan bertanya-tanya
kepada orang sekitar tentang si anak, nampaklah olehku dari kejauhan sebuah
bukit kecil yang tak jauh letaknya dari khemah si pak tua. Di atas bukit
tersebut ada sekawan burung gagak yang mengerumuni sesuatu… maka segeralah
terdetik di benakku bahawa burung tersebut tidak lah berkerumun kecuali pada
bangkai, atau sisa makanan.
Aku
pun mendaki bukit tersebut dan mendatangi kawanan gagak tadi hingga mereka
berhamburan terbang. Tatkala kudatangi lokasi tersebut, ternyata si anak telah
tewas dengan badan terpotong-potong… rupanya seekor serigala telah menerkamnya
dan memakan sebahagian dari tubuhnya, lalu meninggalkan sisanya untuk
burung-burung… Aku lebih sedih memikirkan nasib pak tua daripada nasib si anak…
Aku
pun turun dari bukit… dan melangkahkan kakiku dengan berat menahan kesedihan yang
mendalam… Haruskah kutinggalkan Pak Tua menghadapi nasibnya sendirian… ataukah
kudatangi dia dan ku ceritakan nasib anaknya kepadanya? Aku berjalan menujuk
khemah Pak Tua… aku menjadi bingung bagaimana harus mengatakan apa dan mulai
dari mana?
Lalu
terlintaslah di benakku akan kisah Nabi Ayyub ‘alaihissalaam… maka kutemui Pak
Tua itu dan dia masih dalam keadaan yang memprihatinkan seperti saat
kutinggalkan. Kuucapkan salam kepadanya, dan pak Tua yang malang ini demikian
rindu ingin melihat anaknya… ia mendahuluiku dengan bertanya: “Di mana si
anak?”
Namun
kataku: “Jawablah terlebih dahulu… siapakah yg lebih dicintai Allah: engkau
atau Ayyub ‘alaihissalaam?”
“Tentu
Ayyub ‘alaihissalaam lebih dicintai Allah” jawabnya.
“Lantas
siapakah di antara kalian yang lebih berat ujiannya?” tanyaku kembali.
“Tentu
Ayyub…” jawabnya.
“Kalau
begitu, berharaplah pahala dari Allah kerana aku mendapati anakmu telah tewas
di lereng gunung… ia diterkam oleh serigala dan dikoyak-koyak tubuhnya…”
jawabku.
Maka
Pak Tua pun tersedak-sedak menahan kesedihan seraya berkata: “Laa ilaaha
illallaaah…” dan aku berusaha meringankan musibahnya dan menyabarkannya… namun
kesedihannya amat mendalam hingga aku mulai menalqinkan kalimat syahadat
kepadanya… hingga akhirnya dia meninggal dunia. Ia wafat di hadapanku, lalu
kututupi jasadnya dengan selimut yang ada di bawahnya… lalu aku keluar untuk
mencari orang yang membantuku mengurus jenazahnya…
Maka
kudapati ada tiga orang yg mengendarai unta mereka… nampaknya mereka adalah
para musafir, maka kupanggil mereka dan mereka datang menghampiriku… Kukatakan:
“Maukah kalian menerima pahala daripada Allah kepada kalian? Di sini ada
seorang muslim yang wafat dan dia tidak punya siapa-siapa yg mengurusinya…
mahukah kalian menolongku memandikan, mengafani dan menguburkannya?”
“Iya..”
jawab mereka.
Mereka
pun masuk ke dalam khemah menghampiri mayat Pak Tua untuk memindahkannya… namun
ketika mereka menyingkap wajahnya, mereka saling berteriak: “Abu Qilabah… Abu
Qilabah…!!”
Ternyata
Abu Qilabah adalah salah seorang ulama terkenal, akan tetapi waktu silih
berganti dan ia dirundung berbagai musibah hingga menyendiri dari masyarakat
dalam sebuah khemah lusuh… Kami pun menunaikan kewajiban kami atasnya dan
menguburkannya, kemudian aku kembali bersama mereka ke Madinah…
Malamnya
aku bermimpi melihat Abu Qilabah dengan penampilan indah… dia mengenakan gamis
putih dengan badan yang sempurna…dia berjalan-jalan di tanah yang hijau… maka
aku bertanya kepadanya: “Hai Abu Qilabah… apa yang menjadikanmu seperti yang
kulihat ini?”
Maka
jawabnya: “Allah telah memasukkanku ke dalam Jannah, dan dikatakan kepadaku di
dalamnya: “Salam sejahtera atasmu sebagai balasan atas kesabaranmu… maka
(inilah Syurga) sebaik-baik tempat kembali
Kisah
ini diriwayatkan oleh Al Imam Ibnu Hibban dalam kitabnya: “Ats Tsiqaat” dengan
penyesuaian.
1 comment:
mohon share di blog saya..
terima kasih
Post a Comment